JAKARTA - PT Aneka Tambang Tbk (Antam) tengah mengajukan revisi Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) untuk tahun 2025 guna meningkatkan volume produksi nikel menjadi 21 juta ton. Langkah ini diambil sebagai bagian dari strategi perusahaan untuk mengoptimalkan potensi sektor nikel yang semakin vital di pasar global, terutama dalam mendukung industri kendaraan listrik.
Fokus Antam pada Sektor Nikel
Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Antam, Arianto Sabtonugroho Rudjito, menjelaskan bahwa perusahaan sedang mempersiapkan dokumen yang diperlukan untuk mengajukan revisi RKAB tersebut. “Kami sedang mengurus kesiapan dokumen untuk mengajukan revisi RKAB tersebut,” ujar Arianto.
Langkah ini sejalan dengan arahan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mendorong perusahaan tambang untuk meningkatkan produksi nikel guna memenuhi permintaan global yang terus meningkat.
Tantangan dan Strategi Antam
Pada tahun 2024, Antam mengalami penurunan produksi bijih nikel sebanyak 26,1% dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu dari 13.445.579 wet metric ton (wmt) menjadi 9.935.403 wmt. Penurunan ini disebabkan oleh keterlambatan penerbitan RKAB dan ketidakpastian makroekonomi global. Namun, manajemen Antam berhasil mengelola tantangan tersebut dengan baik, sehingga dapat mengoptimalkan kinerja produksi dan penjualan komoditas nikel.
Untuk tahun 2025, Antam berkomitmen untuk fokus pada efisiensi dan penguatan produksi hilir. Direktur Utama Antam, Nicolas D. Kanter, menyatakan bahwa perusahaan akan tetap berkomitmen untuk tumbuh meskipun menghadapi tantangan pasar dan regulasi. “Sebenarnya tantangan utama kita penurunan itu adalah harga global dan yang paling besar adalah tantangan terkait dengan RKAB,” jelas Nico.
Proyek Smelter Nikel Bersama CATL
Sebagai bagian dari strategi hilirisasi, Antam bekerja sama dengan konsorsium asal China, Contemporary Amperex Technology Co. (CATL), untuk membangun smelter nikel dengan teknologi rotary kiln electric furnace (RKEF) dan high pressure acid leaching (HPAL). Proyek smelter RKEF direncanakan dimulai pada kuartal pertama atau kedua tahun 2025, sementara smelter HPAL pada kuartal ketiga tahun yang sama.
Nicolas D. Kanter menyampaikan bahwa pembangunan smelter RKEF akan segera dimulai pada kuartal pertama atau kedua 2025. “Pembangunannya akan berjalan di 2025, tahun depan di-first kuartal kita akan jalan pembangunan [smelter] RKEF-nya,” kata Nico.
Dampak Positif bagi Perekonomian
Peningkatan produksi nikel dan pembangunan smelter diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia. Proyek ini diperkirakan akan menyerap sekitar 10.600 tenaga kerja pada tahap konstruksi dan 8.000 tenaga kerja pada tahap operasional. Selain itu, proyek ini juga dapat menghemat devisa hingga Rp 9,1 triliun per tahun dari pengurangan impor LPG.
Menteri ESDM, Arifin Tasrif, menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara produksi dan permintaan agar harga tetap stabil. “Produksi berlebihan hanya akan menekan harga lebih dalam. Kita harus memastikan keseimbangan antara produksi dan permintaan,” jelas Arifin.
Komitmen Antam terhadap Keberlanjutan
Antam berkomitmen untuk menjaga keberlanjutan dalam setiap aspek operasionalnya. Perusahaan memastikan bahwa peningkatan produksi nikel dilakukan dengan memperhatikan dampak lingkungan dan sosial. “Bagi kami, keberlanjutan bukan sekadar pilihan, tetapi keharusan. Kami memiliki tanggung jawab untuk memastikan operasional kami tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga berkelanjutan dari sisi lingkungan,” tutur Arianto Sabtonugroho Rudjito.
Prospek Masa Depan
Dengan revisi RKAB yang diajukan dan proyek smelter yang sedang berjalan, Antam berharap dapat meningkatkan kapasitas produksi nikel dan memperkuat posisi Indonesia sebagai produsen nikel terbesar di dunia. Keberhasilan proyek ini diharapkan dapat mendukung pengembangan industri kendaraan listrik di dalam negeri dan memperkuat ketahanan energi nasional.
Sebagai bagian dari strategi hilirisasi, Antam juga berencana untuk mengembangkan industri baterai kendaraan listrik dan bahan baku baterai di Indonesia. Langkah ini sejalan dengan kebijakan pemerintah yang berkomitmen untuk meningkatkan nilai tambah sektor tambang dan memperkuat industri hilir.A