Perbankan

Saham Perbankan Tertekan, Peluang Investasi atau Ancaman?

Saham Perbankan Tertekan, Peluang Investasi atau Ancaman?
Saham Perbankan Tertekan, Peluang Investasi atau Ancaman?

JAKARTA — Pasar saham sektor perbankan saat ini menghadapi tekanan signifikan, dengan penurunan tajam yang mencerminkan kinerja keuangan yang kurang memuaskan pada tahun 2024. Situasi ini membuka diskusi, apakah saat ini merupakan waktu yang tepat untuk membeli saham-saham perbankan atau sebaliknya?

Analis BRI Danareksa Sekuritas, Victor Stefano, mengungkapkan bahwa saham sektor perbankan telah turun sebesar 7% month to date (MTD), mengungguli penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang berada sekitar 6% per 12 Februari 2025. “Valuasi bank-bank besar memang telah menurun, tetapi belum mencapai titik terendah historisnya. Hal ini sebagian besar dipengaruhi oleh siklus kenaikan Non-Performing Loan (NPL),” ujar Victor dalam riset terbarunya. Pernyataan ini menyoroti bahwa tekanan pada saham perbankan tidak hanya karena kinerja keuangan yang mengecewakan tetapi juga faktor risiko lain terkait dengan kualitas kredit.

Di antara bank-bank besar, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) mencatatkan penurunan harga saham terbesar, merosot sekitar 17% MTD. Sementara itu, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) juga mengalami koreksi signifikan sebesar 13% MTD. Investor tentu mempertanyakan langkah-langkah apa yang bisa diambil oleh bank untuk membalikkan tren ini. Pembayaran dividen dan aksi buyback yang direncanakan oleh beberapa bank pelat merah dapat menjadi katalis positif yang berpotensi memulihkan kepercayaan investor.

Namun, aspek lain yang memberikan tekanan adalah arus keluar investor asing yang signifikan. Victor mencatat bahwa PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) mengalami arus keluar investor asing terbesar sepanjang tahun ini, setelah sebelumnya menikmati arus masuk selama dua tahun terakhir. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran sentimen dari investor internasional terhadap sektor perbankan di Indonesia.

Menghadapi situasi ini, likuiditas yang ketat menjadi tantangan tambahan bagi bank-bank besar. “Meskipun kekhawatiran terhadap kualitas aset tidak sejelas saat pandemi COVID-19, likuiditas yang ketat masih menjadi tantangan utama bagi sektor perbankan,” jelas Victor. Risiko ini dapat menyebabkan penurunan valuasi lebih lanjut, bahkan bisa mencapai titik di bawah -1 Standar Deviasi dari rata-rata historis 15 tahun terakhir.

Untuk investor yang mempertimbangkan potensi pembelian saham bank, pilihan saham seperti BBCA, BTPS, dan BRIS mungkin patut dipertimbangkan. Victor tetap merekomendasikan saham-saham ini berkat Cost of Fund (CoF) yang lebih stabil dan prospek kualitas aset yang lebih positif. Namun, keputusan untuk berinvestasi harus dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor risiko yang ada di pasar saat ini.

Dalam jangka pendek, perhatian utama pasar tertuju pada hasil Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan serta laporan keuangan kuartal I-2025 yang diharapkan mampu memberikan gambaran lebih jelas mengenai arah kinerja bank ke depan. Di tengah ketidakpastian makroekonomi global, investor harus tetap waspada dan cerdas dalam mengambil keputusan investasi di sektor perbankan.

Ke depannya, perkembangan suku bunga acuan dan imbal hasil obligasi SRBI bisa mempengaruhi tekanan likuiditas dalam sistem perbankan. Jika suku bunga menurun, diharapkan tekanan ini dapat berkurang, memberikan sedikit napas bagi bank untuk mengkonsolidasikan posisi mereka.

Selain itu, stabilitas nilai tukar rupiah juga berperan penting, terutama bagi bank-bank dengan kepemilikan asing yang tinggi. Ini berpotensi menambah kompleksitas perbankan dalam mempertahankan daya saing dan menarik investor.

Secara keseluruhan, meski saham perbankan sedang mengalami penurunan, peluang investasi tetap ada dengan strategi dan analisis yang tepat. Para investor dituntut untuk jeli melihat peluang di balik tantangan yang dihadapi sektor ini, dengan memperhatikan perkembangan makroekonomi dan strategi perbankan ke depan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index