JAKARTA - Kebijakan pemerintah untuk menghentikan insentif fiskal bagi industri otomotif pada 2026 menjadi tantangan baru bagi produsen mobil di Indonesia.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memastikan program insentif impor utuh (CBU) mobil listrik murni berakhir pada 31 Desember 2025. Hal ini membuat pabrikan harus menyesuaikan strategi agar tetap kompetitif di tengah pasar yang menuntut produksi lokal lebih besar.
Berhentinya insentif CBU menjadi bagian dari peta jalan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang mewajibkan pabrikan memproduksi kendaraan listrik dengan komponen lokal minimal setara atau lebih tinggi mulai 2026. Langkah ini diharapkan mendorong ekosistem otomotif lebih mandiri, meskipun menjadi tantangan bagi volume penjualan yang masih fluktuatif.
Kebutuhan Stimulus untuk Dongkrak Penjualan
Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Putu Juli Ardika, menekankan bahwa stimulus pemerintah tetap dibutuhkan untuk menjaga daya beli masyarakat. Penjualan mobil domestik menjelang akhir 2025 belum sepenuhnya pulih, sehingga insentif dianggap mampu menjadi katalis penting untuk mendorong pasar.
Putu mengingatkan bahwa pengalaman pandemi Covid-19 menunjukkan kebijakan insentif, seperti relaksasi Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM DTP), efektif mendorong volume penjualan hingga lebih dari satu juta unit. Tanpa stimulus serupa, industri berisiko mengalami perlambatan yang berdampak pada lapangan kerja dan ekosistem industri.
Pelaku Industri Siapkan Strategi Produksi Lokal
Di tengah minimnya insentif, produsen mobil mulai menyiapkan langkah strategis berbasis produksi lokal. CEO VinFast Indonesia, Kariyanto Hardjosoemarto, menyatakan pembangunan pabrik VinFast di Subang, Jawa Barat, menjadi bentuk kepatuhan terhadap aturan pemerintah sekaligus kekuatan untuk menghadapi penghentian insentif CBU.
Kariyanto menyebut, produksi dalam negeri akan menjadi fondasi VinFast agar tidak terlalu terdampak kebijakan baru. Meskipun begitu, pihaknya masih berharap pemerintah menyediakan insentif tambahan, misalnya melalui skema PPnBM DTP, agar pertumbuhan industri mobil listrik tetap terjaga pada 2026.
Senada, BYD Indonesia juga mempersiapkan pabrik di Subang untuk memproduksi hingga 150.000 unit per tahun. Head of Marketing, PR & Government BYD Indonesia, Luther T. Panjaitan, menegaskan bahwa kinerja penjualan BYD pada 2025 banyak terbantu oleh insentif CBU. Tanpa kelanjutan insentif, perusahaan ragu tren pertumbuhan bisa berlanjut.
Konsistensi Kebijakan Jadi Penentu Pertumbuhan Industri
Produsen Jepang, PT Honda Prospect Motor (HPM), juga menyesuaikan strategi untuk menjaga daya saing di pasar domestik. Sales & Marketing and After Sales Director HPM, Yusak Billy, menyampaikan bahwa perusahaan akan menekankan kualitas produk dan layanan purnajual untuk mempertahankan pangsa pasar meski insentif berkurang.
Berdasarkan data Gaikindo, penjualan ritel Honda sepanjang 11 bulan 2025 mencapai 64.225 unit dengan pangsa pasar 8,7%. Honda Brio menjadi kontributor utama dengan lebih dari 35.000 unit, diikuti HR-V dan WR-V. Strategi produksi lokal dan fokus pada layanan diharapkan membantu produsen tetap kompetitif meski stimulus pemerintah minimal.
Selain itu, Wakil Presiden Direktur TMMIN, Bob Azam, mengingatkan pentingnya mempertahankan posisi Indonesia sebagai pasar otomotif terbesar di ASEAN. Negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia masih memberikan insentif, sehingga kebijakan pemerintah di Indonesia menjadi faktor penentu agar industri tidak kehilangan daya tarik investasi.
Minimnya insentif fiskal pada 2026 memaksa produsen menyesuaikan strategi melalui produksi lokal, penguatan layanan, dan inovasi produk. VinFast, BYD, dan Honda menunjukkan kesiapan menghadapi tantangan tersebut, sambil berharap pemerintah tetap memberikan dukungan yang berkelanjutan bagi industri otomotif nasional.
Dengan pendekatan ini, para pelaku industri berharap pasar tetap bergairah dan kontribusi sektor otomotif terhadap ekonomi nasional, termasuk pajak daerah dan lapangan kerja, tidak menurun meski insentif berkurang. Industri dituntut lebih adaptif untuk memastikan pertumbuhan yang stabil di tengah kebijakan fiskal baru.