JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan tidak akan memberikan relaksasi atau penundaan penerapan ketentuan ekuitas minimum bagi perusahaan asuransi maupun reasuransi, baik konvensional maupun syariah, yang akan mulai berlaku pada tahun 2026.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 23 Tahun 2023, yang mengatur mengenai penguatan permodalan industri asuransi agar lebih sehat, tangguh, dan berdaya saing.
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun (PPDP) OJK, Ogi Prastomiyono, menegaskan bahwa sampai saat ini tidak ada kebijakan relaksasi terkait pemenuhan ketentuan ekuitas minimum tersebut.
“Sampai saat ini, belum terdapat kebijakan relaksasi terkait penundaan pemenuhan ketentuan ekuitas minimum yang berlaku mulai tahun 2026,” ujar Ogi dalam lembar jawaban Rapat Dewan Komisioner (RDK) OJK September 2025.
Menurutnya, kebijakan permodalan ini bersifat strategis karena bertujuan memastikan ketahanan dan stabilitas keuangan perusahaan asuransi sekaligus melindungi kepentingan pemegang polis. OJK berkomitmen agar kebijakan tersebut dijalankan secara konsisten demi mewujudkan industri asuransi yang sehat dan berdaya saing tinggi.
AAUI Siapkan Kajian Akademik untuk Masukan ke OJK
Sementara itu, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) tengah menyusun kajian mendalam untuk memberikan masukan kepada OJK terkait ketentuan peningkatan modal minimum yang diatur dalam POJK 23/2023 tersebut.
Ketua Umum AAUI, Budi Herawan, menjelaskan bahwa pihaknya bekerja sama dengan Lembaga Manajemen Universitas Indonesia (LMUI) dalam penyusunan white paper atau laporan ilmiah berbasis data.
“Masukan yang kami siapkan tidak dimaksudkan untuk menunda arah kebijakan, melainkan untuk memastikan proses transisi dapat berlangsung lebih berimbang dan terukur,” ujar Budi kepada Bisnis, Kamis (25/9/2025).
AAUI menilai, kebijakan peningkatan ekuitas memang penting bagi ketahanan industri. Namun, pelaksanaannya membutuhkan transisi yang realistis, mengingat kondisi ekonomi nasional yang masih dalam tahap pemulihan.
Budi juga menambahkan, pihaknya memahami arah kebijakan OJK yang ingin memperkuat sektor keuangan, tetapi industri membutuhkan waktu adaptasi agar tidak terjadi guncangan pada perusahaan-perusahaan kecil dan menengah di sektor asuransi.
Tantangan Pemenuhan Ekuitas Minimum di Tengah Tekanan Ekonomi
Budi Herawan menilai bahwa pemenuhan ekuitas minimum tahap pertama pada 2026 akan menjadi tantangan besar bagi banyak pelaku industri. Menurutnya, sebagian perusahaan masih menghadapi tekanan akibat kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.
“Ekuitas kalau saya lihat memang 2026 ini masih berat. Kami lagi mempersiapkan white map-nya, ujungnya adalah minta relaksasi waktu ke regulator, mungkin bulan ini kita akan sampaikan,” ungkap Budi dalam konferensi pers AAUI di Jakarta.
Sebagai informasi, aturan peningkatan ekuitas yang tercantum dalam POJK 23/2023 merupakan revisi dari POJK 67/2016. Dalam aturan baru ini, peningkatan modal dilakukan secara bertahap hingga memenuhi standar minimum pada 2026.
Rinciannya adalah sebagai berikut:
Perusahaan asuransi wajib memiliki ekuitas minimum sebesar Rp250 miliar, naik dari sebelumnya Rp150 miliar.
Perusahaan reasuransi harus memiliki ekuitas minimum sebesar Rp500 miliar.
Perusahaan asuransi syariah ditetapkan minimal Rp100 miliar, sementara reasuransi syariah minimal Rp200 miliar.
Berdasarkan data OJK per Agustus 2025, dari total 144 perusahaan asuransi dan reasuransi, sebanyak 109 perusahaan telah memenuhi ketentuan ekuitas minimum yang disyaratkan untuk 2026. Artinya, masih ada 35 perusahaan yang belum memenuhi standar tersebut.
OJK Fokus pada Stabilitas dan Perlindungan Pemegang Polis
OJK menilai bahwa ketentuan ekuitas minimum ini bukan sekadar aturan administratif, melainkan bagian dari strategi jangka panjang dalam memperkuat industri perasuransian nasional.
Ogi Prastomiyono menekankan bahwa perusahaan dengan permodalan yang kuat memiliki kemampuan lebih baik dalam mengelola risiko, menjaga likuiditas, serta memberikan perlindungan optimal bagi pemegang polis.
Selain itu, penguatan ekuitas juga diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan publik dan investor terhadap sektor asuransi, sekaligus memacu pertumbuhan investasi jangka panjang di industri ini.
“Kebijakan permodalan ini harus dijalankan secara konsisten. Tujuannya jelas: membangun industri asuransi yang sehat, berdaya saing, dan mampu memberikan perlindungan maksimal bagi masyarakat,” tegas Ogi.
Dengan demikian, meskipun industri menghadapi tantangan dalam memenuhi ketentuan tersebut, OJK menilai konsistensi kebijakan adalah kunci untuk mencapai stabilitas sistem keuangan nasional.
Prospek dan Arah Kebijakan ke Depan
Meski sebagian perusahaan masih belum memenuhi persyaratan ekuitas minimum, pemerintah dan regulator optimistis bahwa industri asuransi dapat beradaptasi. Upaya konsolidasi, peningkatan efisiensi, serta penguatan tata kelola menjadi langkah penting yang diharapkan muncul dari kebijakan ini.
OJK juga mendorong perusahaan-perusahaan yang belum memenuhi standar agar segera melakukan restrukturisasi modal, mencari investor strategis, atau melakukan penggabungan usaha (merger) untuk memperkuat posisi keuangannya.
Langkah-langkah tersebut dinilai mampu mempercepat proses penyesuaian menuju industri yang lebih solid, efisien, dan tahan terhadap gejolak ekonomi.
Dalam konteks ini, peran asosiasi seperti AAUI juga menjadi penting untuk menjembatani komunikasi antara pelaku industri dan regulator, agar kebijakan dapat berjalan efektif tanpa mengganggu stabilitas pasar.
Ketiadaan relaksasi dari OJK terhadap kebijakan pemenuhan ekuitas minimum 2026 menandakan ketegasan regulator dalam menjaga stabilitas industri asuransi nasional. Meskipun banyak pelaku usaha meminta penyesuaian waktu, OJK menilai penguatan permodalan adalah fondasi utama bagi keberlanjutan industri.
Dengan 109 perusahaan yang sudah memenuhi syarat dan 35 lainnya masih berproses, arah kebijakan OJK menunjukkan fokus pada disiplin keuangan dan perlindungan nasabah.