Generasi Muda dan Tantangan Mewujudkan Petani Milenial Indonesia

Senin, 27 Oktober 2025 | 13:02:35 WIB
Generasi Muda dan Tantangan Mewujudkan Petani Milenial Indonesia

JAKARTA - Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda—sebuah momentum yang mengingatkan kita pada semangat persatuan, keberanian, dan tanggung jawab generasi muda dalam menentukan arah bangsa. 

Namun, makna Sumpah Pemuda di masa kini tidak lagi hanya sebatas soal persatuan dalam tanah air, bangsa, dan bahasa. Lebih dari itu, semangat tersebut kini ditantang untuk menjawab persoalan baru: bagaimana generasi muda berperan dalam kedaulatan pangan nasional.

Delapan dekade setelah Indonesia merdeka, perjuangan generasi muda tidak lagi berfokus pada kemerdekaan politik, melainkan pada kemerdekaan ekonomi dan pangan. Dunia saat ini tengah berhadapan dengan berbagai gejolak—perang, krisis iklim, dan gangguan rantai pasok global—yang membuat kemandirian pangan menjadi isu strategis. Dalam konteks tersebut, muncul pertanyaan penting: mampukah Indonesia memberi makan bangsanya sendiri dan bahkan dunia?

Presiden Prabowo Subianto dalam visi besar pemerintahannya telah menegaskan arah pembangunan menuju cita-cita besar: menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia. Dalam Pidato Perdana di Sidang MPR-RI, Prabowo menyebut visi ini bukan sekadar slogan politik, melainkan strategi nasional untuk menjawab tantangan global yang kian kompleks.

Potensi Besar Indonesia dan Ancaman Krisis Regenerasi Petani

Dengan kekayaan alam, tanah yang subur, serta keanekaragaman hayati yang luar biasa, Indonesia memiliki modal kuat untuk menjadi salah satu pusat produksi pangan dunia. Namun di balik potensi tersebut, terdapat persoalan serius yang harus segera diatasi: krisis regenerasi petani.

Sektor pertanian yang menjadi tulang punggung bangsa kini menghadapi ancaman kekurangan tenaga muda. Banyak generasi muda di pedesaan enggan melanjutkan profesi orang tua mereka sebagai petani karena menganggap pekerjaan tersebut melelahkan, berisiko tinggi, dan tidak menjanjikan kesejahteraan. Survei dari Kementerian Pertanian menunjukkan minat generasi muda terhadap pertanian sangat rendah.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa sekitar 71 persen petani di Indonesia berusia di atas 45 tahun, sementara hanya 29 persen yang berusia di bawah 45 tahun. Artinya, sebagian besar pelaku pertanian saat ini berasal dari kelompok usia tua. Jika tren ini terus berlanjut, dalam satu atau dua dekade ke depan, Indonesia bisa menghadapi krisis tenaga petani yang berdampak langsung pada ketahanan pangan nasional.

Hasil survei dari Jakpat pun memperkuat fakta ini. Hanya 6 dari 100 generasi Z yang tertarik bekerja di bidang pertanian. Alasannya bervariasi: tidak adanya pengembangan karier (36,3%), risiko kerja tinggi (33,3%), pendapatan rendah (20%), kurangnya penghargaan sosial (14,8%), dan persepsi bahwa pekerjaan ini tidak menjanjikan masa depan (12,6%).

Hambatan Struktural: Lahan, Permodalan, dan Teknologi

Selain minimnya minat generasi muda, permasalahan struktural juga memperparah kondisi sektor pertanian. Banyak anak muda yang sebenarnya tertarik untuk bertani, tetapi tidak memiliki lahan atau kesulitan mengakses permodalan. Sementara itu, sistem pertanian tradisional masih identik dengan cara kerja manual, teknologi terbatas, dan produktivitas rendah.

Masalah klasik ini membuat sektor pertanian sulit bersaing dengan bidang lain yang menawarkan peluang karier dan penghasilan lebih tinggi. Tidak jarang, para pemuda akhirnya memilih bekerja di kota atau sektor industri yang dianggap lebih modern dan stabil.

Di sisi lain, perubahan iklim menambah kompleksitas persoalan. Cuaca ekstrem, banjir, kekeringan, serta serangan hama yang tidak terduga sering kali menurunkan hasil panen secara drastis. Kondisi ini membuat petani, terutama yang masih pemula, menghadapi risiko kerugian besar. Akibatnya, bertani semakin kehilangan daya tarik di mata generasi muda.

Padahal, bila dilihat dari kebutuhan strategis bangsa, pertanian justru merupakan sektor masa depan. Dunia kini sedang menghadapi ancaman krisis pangan global. 

Menurut data Food and Agriculture Organization (FAO), untuk memenuhi kebutuhan populasi dunia pada tahun 2050, produksi pangan global harus meningkat hingga 60 persen dibandingkan saat ini. D

engan sumber daya alam melimpah, Indonesia sesungguhnya memiliki peluang besar menjadi pemain utama dalam produksi pangan dunia—selama mampu mencetak generasi petani muda yang inovatif dan produktif.

Petani Milenial: Harapan Baru Pertanian Indonesia

Harapan terhadap sektor pertanian kini bertumpu pada petani milenial—generasi muda yang tidak hanya menggarap lahan, tetapi juga mengelola pertanian dengan cara baru: berbasis teknologi, inovasi, dan manajemen modern. Mereka tidak lagi memandang pertanian sebagai pekerjaan tradisional, melainkan sebagai bisnis strategis dan berorientasi global.

Petani milenial mampu menggabungkan praktik pertanian dengan digitalisasi, seperti pertanian presisi (precision agriculture), penggunaan Internet of Things (IoT) untuk pemantauan lahan, serta strategi pemasaran melalui e-commerce dan media sosial. Mereka tidak hanya menanam padi, jagung, atau sayur-mayur, tetapi juga menanam ide, data, dan jejaring kolaboratif.

Peran pemerintah dalam mendukung lahirnya petani milenial juga sangat penting. Program pelatihan, akses permodalan, kemudahan penggunaan lahan, hingga insentif bagi inovasi teknologi pertanian menjadi langkah strategis yang harus diperkuat. Tanpa dukungan kebijakan yang berpihak kepada generasi muda, cita-cita mewujudkan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia hanya akan menjadi slogan tanpa realisasi.

Kini, semangat Sumpah Pemuda harus dimaknai dalam konteks baru: jika pada tahun 1928 para pemuda bersatu untuk menyatukan bangsa, maka pemuda masa kini harus bersatu untuk menegakkan kedaulatan pangan nasional. Generasi muda Indonesia memiliki tanggung jawab historis untuk memastikan masa depan bangsa tetap terjamin melalui ketahanan pangan yang kuat dan berkelanjutan.

Terkini