JAKARTA - Indonesia semakin mantap menempatkan energi nuklir sebagai bagian integral dari strategi transisi energi nasional menuju Net Zero Emission (NZE) 2060. Pemerintah menilai Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) bukan lagi opsi cadangan, melainkan elemen penting dalam memastikan pasokan listrik yang stabil, efisien, dan rendah karbon.
Langkah ini menandai pergeseran besar dalam kebijakan energi Indonesia, yang selama ini bergantung pada batu bara dan gas sebagai sumber utama. Pemerintah kini mulai memandang nuklir sebagai pilar strategis dalam menjaga kemandirian energi sekaligus memperkuat posisi Indonesia di panggung global dalam hal pengembangan teknologi bersih.
PLTN Jadi Pilar Baru Strategi Transisi Energi Nasional
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot menegaskan bahwa pengembangan PLTN sejalan dengan arah kebijakan nasional dan visi Asta Cita butir kedua, yang menitikberatkan pada penguatan pertahanan, keamanan, serta kemandirian bangsa melalui penguasaan sektor pangan, energi, air, dan ekonomi hijau-biru.
“PLTN sebagai salah satu opsi strategis dalam peta transisi energi nasional dalam mencapai Net Zero Emission 2060. PLTN tidak lagi dianggap sebagai opsi terakhir, melainkan sebagai bagian penting dari perencanaan energi nasional,” ujar Yuliot saat menjadi pembicara kunci dalam acara Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) Executive Meeting dan Penganugerahan BAPETEN Award 2025 di Jakarta.
Pernyataan ini mempertegas posisi nuklir sebagai elemen utama dalam peta jalan energi bersih Indonesia. Pemerintah tidak lagi menempatkan PLTN di pinggiran strategi, tetapi menjadikannya sebagai solusi penting untuk menjembatani kebutuhan energi yang terus meningkat dengan target dekarbonisasi jangka panjang.
Warisan Panjang dan Dasar Hukum yang Kuat
Indonesia sejatinya bukan pemain baru dalam dunia teknologi nuklir. Sejak awal 1960-an, negeri ini telah memulai langkah awal melalui pembangunan tiga reaktor riset:
Reaktor Triga Bandung dengan kapasitas 2 MW,
Reaktor Kartini Yogyakarta berkapasitas 100 kW, dan
Reaktor Serpong Tangerang Selatan dengan daya 30 MW.
Yuliot menuturkan, pondasi regulasi dan kebijakan untuk pengembangan tenaga nuklir juga telah disiapkan matang selama beberapa dekade. Sejumlah aturan penting menjadi dasar hukum, antara lain:
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1967 tentang Ketenaganukliran,
Arahan pembangunan PLTN dalam RPJPN 2025–2045, serta
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional.
“Dalam PP Nomor 45 Tahun 2025, PLTN tidak lagi dianggap sebagai opsi terakhir, melainkan sebagai bagian penting dari perencanaan energi nasional. Seluruh dokumen tersebut menegaskan komitmen Indonesia untuk mengoperasikan PLTN pertama pada tahun 2032 dan mencapai kapasitas 44 GW pada tahun 2060,” jelas Yuliot.
Dari total kapasitas tersebut, sekitar 35 GW akan diarahkan untuk kebutuhan listrik umum, sedangkan 9 GW lainnya akan dimanfaatkan untuk mendukung produksi hidrogen nasional — bagian dari langkah menuju ekonomi rendah karbon.
Proyeksi Kapasitas dan Tantangan Implementasi
Pemerintah memperkirakan, kontribusi energi nuklir dalam bauran energi nasional akan mencapai 5% pada tahun 2030, dan meningkat menjadi 11% pada tahun 2060. Dengan demikian, PLTN diharapkan dapat menjadi tulang punggung pasokan energi bersih Indonesia di masa depan.
Namun, Yuliot mengakui bahwa realisasi program ini bukan tanpa tantangan. Isu utama terletak pada pendanaan dan durasi pembangunan. Untuk satu unit PLTN saja, dibutuhkan investasi sekitar USD 3,8 miliar dengan waktu konstruksi mencapai 4–5 tahun.
Di tengah tantangan tersebut, pemerintah terus mengupayakan model pembiayaan yang berkelanjutan dan kolaboratif, termasuk skema kemitraan publik-swasta (PPP) dan green financing. Pendekatan ini diharapkan mampu menarik minat investor global yang mulai melirik proyek energi rendah emisi di kawasan Asia Tenggara.
Selain masalah pendanaan, aspek keselamatan dan keamanan nuklir menjadi perhatian utama. Dengan kondisi geografis Indonesia yang rawan gempa, pemerintah menegaskan komitmennya untuk menerapkan standar keamanan tertinggi dalam seluruh proses pembangunan dan operasional PLTN.
“Seluruh proses pembangunan dan pengoperasian PLTN dilakukan di bawah pengawasan ketat dengan standar keamanan tinggi. Pemerintah akan memastikan seluruh mitigasi dan pengawasan terpenuhi, serta bekerja sama dengan BAPETEN dan lembaga internasional agar operasional PLTN berjalan aman dan andal,” tegas Yuliot.
Nuklir dan Kemandirian Energi Masa Depan
Langkah pemerintah membuka peluang pemanfaatan nuklir bukan sekadar respons terhadap isu dekarbonisasi global, tetapi juga strategi kemandirian energi nasional. Dengan ketergantungan tinggi pada impor energi dan tekanan terhadap pasokan batu bara, PLTN dipandang sebagai solusi jangka panjang yang mampu menjamin kestabilan sistem energi nasional.
Selain itu, pengembangan PLTN juga mendorong transfer teknologi dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) di bidang sains dan rekayasa nuklir. Dalam jangka panjang, kemampuan ini dapat memperkuat posisi Indonesia sebagai negara yang tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi juga produsen dan inovator energi bersih.
Jika seluruh rencana berjalan sesuai jadwal, Indonesia akan memasuki era baru ketenagalistrikan dengan dioperasikannya PLTN pertama pada 2032. Keberadaan pembangkit ini akan menjadi tonggak sejarah, sekaligus bukti komitmen pemerintah dalam mewujudkan transisi energi yang realistis, terukur, dan berbasis pada kemandirian teknologi nasional.
Energi Nuklir sebagai Arah Baru Transisi Hijau
Pergeseran pandangan pemerintah terhadap energi nuklir menandai babak baru kebijakan energi Indonesia. Dari yang semula dianggap tabu atau berisiko tinggi, kini nuklir diposisikan sebagai instrumen vital menuju NZE 2060.
Dengan dukungan regulasi kuat, kesiapan infrastruktur, serta pengawasan dari lembaga seperti BAPETEN, pengembangan PLTN menjadi simbol perubahan cara pandang Indonesia terhadap masa depan energi.
Dari sini, Indonesia tidak hanya mengejar emisi nol, tetapi juga membangun fondasi kemandirian energi berkelanjutan — sebuah langkah penting menuju bangsa yang berdaulat energi dan berdaulat teknologi.